Bebas berimajinasi

Bebas berimajinasi

Total Pageviews

Thursday, August 06, 2015

Cerita Inspirasi 2

Kepala Ayam


ilustrasi by: www.pd4pic.com

Bagi Lastri, makan dengan lauk ayam adalah makanan yang sangat istimewa dan mewah. Bagaimana tidak, hampir setiap hari ia hanya memasak sayur dengak lauk tahu dan tempe. Bahkan ketika ia benar-benar tidak memiliki uang, Lastri hanya membuat kan sambal sebagai lauk makan untuk suami dan kedua anaknya.
Pekerjaann suaminya yang hanya sebagai tukang kuli panggul di pasar tradisional, membuatnya harus pandai-pandai mengatur keuangan yang tidak seberapa. Belum lagi untuk membiayai kedua anaknya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
"Belilah seekor ayam untuk lauk makan kita hari ini," kata sang suami ketika suatu hari ia mendapatkan rezeki yang cukup lumayan.
Maka Lastri pun bergegas ke pasar untuk membeli seekor ayam. Sesampai di rumah, dimasaknya ayam itu, setelah sebelumnya ia potong menjadi beberapa bagian. Ketika ia memotong bagian kepala ayam, Lastri teringat akan suaminya. Setiap ada kesempatan memasak ayam, suaminya paling suka sekali dengan kepala ayam. Sementara ia dan kedua anaknya paling tidak suka dengan kepala ayam.
Ketika makan malam tiba, Lastri pun menghidangkan makan malam itu dengan lauk ayam. Disendoknya nasi untuk sang suami dan kedua anak-anaknya.
"Asyikkk kita makan ayam!" teriak anak bungsunya dengan mata berbinar.
"Alhamdulillah, Ayah mendapatkan rezeki lebih," kata Lastri. Ia selalu mengajarkan kepada anak-anaknya untuk selalu bersyukur dengan apa yang didapat, sekecil apapun itu.
Setelah membagikan daging ayam kepada kedua anaknya, Lastri kemudian mengambil kepala ayam untuk suaminya.
sang suami begitu lahapnya makan dengan lauk kepala ayam.
"Hm... enak sekali masakan Ibu," puji sang suami sambil menggigit kepala ayam. Ia tak pernah bosan memuji masakan istri tercintanya itu.
Tiba-tiba Lastri berpikir untuk menanyakan perihal kecintaan suaminya itu dengan makan kepala ayam.
"Ayah, kenapa sih Ayah suka sekali dengan kepala Ayam?" tanya Lastri.
"Iya Yah, kepala Ayam kan tidak enak," sambar si sulung.
"Betul Yah, kami semua tidak suka dengan kepala ayam." kata si bungsu.
Sang suami tersenyum. "Untuk itulah Ayah makan kepala ayam."
"Maksudnya?" tanya Lastri penasaran.
"Karena kalian tidak suka dengan kepala ayam, maka Ayah lah yang makan kepala ayam itu, agar kalian bisa menikmati daging-daging ayamnya."
Sungguh terkejut Lastri mendengarnya. Betapa sang suami adalah seorang Ayah yang sangat bertanggung jawab terhadap keluarganya. Bahkan untuk makan pun, ia rela hanya memakan kepala ayam yang tidak disukai oleh istri dan anak-anaknya. Betapa besar perhatian dan rasa sayang sang suami terhadap Lastri dan anak-anaknya. Lastri pun terharu. Ia benar-benar kagum pada sang suami tercintanya itu. Tanpa sadar Lastri menitikkan air mata bahagia.
***






Wednesday, August 05, 2015

Cerita Inspirasi 1

Kasih sayang Ibu yang tak pernah kita sadari...


ilustrasi by: guraru.org
 
Suatu hari lantaran tidak dibelikan Handphone terbaru seperti milik teman-temannya, seorang anak marah kepada Ibunya. Ia menganggap Ibunya tidak lagi sayang dan perhatian terhadapnya. Karena kesal maka anak itupun kemudian ngambek dan pergi dari rumah.
            Si anak berjalan jauh hingga kelelahan. Uang disakunya pun habis untuk membeli makanan dan minuman.  Kini ia tidak lagi memiliki uang. Bahkan untuk membeli segelas minuman air tawar pun ia tidak berdaya.
Di siang yang panas, si anak duduk di bawah pohon dekat tukang cendol sambil membayangkan segarnya es cendol yang masuk kerongkongannya ketika diminum. Si anak hanya bisa menelan ludah dan menahan rasa hausnya.
Si tukang cendol yang saat itu melihat si anak sedang duduk, segera menghampirinya.
“Sedang apa kau di sini, nak?” tanya si tukang cendol.
“Sedang istirahat, Pak.”
“Kamu sedang menunggu seseorang?” tanya si tukang cendol lagi.
Si anak menggeleng. “Aku kabur dari rumah.” Sahutnya.
“Mau minum?” tawar si tukang cendol.
Dengan tegas si anak menggeleng. “Aku kehabisan uang,” katanya jujur.
“Oh, kalau begitu biar Bapak kasih gratis buat kamu,” kata si tukang cendol iba.
Maka si tukang cendol pun kemudian membuatklan segelas es cendol dan diberikannya kepada anak itu. Dengan sekali tenggak, es cendol habis masuk kerongkongan kering anak itu.
“Terima kasih Pak,” kata si anak itu. “Bapak baik sekali mau memberikan es cendol ini gratis kepadaku.”
Si tukang cendol tersenyum. “Akh, hanya segelas es cendol saja.”
“Aku heran,” kata si anak itu lagi. “Bapak yang baru saja aku kenal, begitu baik dan perhatian kepadaku, sementara Ibuku? Ia bahkan tidak perduli dengan kepergianku.”
“Nak,” kata si tukang cendol. “Kamu baru saja dikasih es cendol sudah memuji sampai sebegitunya. Tapi pernahkah kamu berterima kasih pada Ibumu yang sudah banyak memberi kepadamu?”
“Memberi apa?” tanya anak itu.
“Banyak. Banyak sekali.” Jawab si tukang cendol. “Coba kamu pikirkan dan ingat baik-baik. Ibumu mengandungmu selama Sembilan bulan. Setelah kau lahir, ia juga memberikan kasih sayang dan merawatmu dengan penuh rasa cinta.”
Si anak terdiam berpikir.
“Bahkan ketika kau menginjak dewasa, Ibumu pun masih memberikan kasih sayang dan perhatian kepadamu. Apakah kamu tidak pernah berpikir, bahwa Ibumu selama ini telah memberikan banyak sekali kepadamu dan tanpa mengharapkan imbalan apapun darimu?”
Si anak tiba-tiba tersadar. Ternyata benar kata si tukang cendol. Selama ini Ibunya telah memberikan banyak sekali kepadanya, akan tetapi si anak tidak pernah menyadari hal itu. Sungguh teganya jika ia mengatakan bahwa Ibunya adalah orang yang tidak pernah perduli terhadapnya.
 Tanpa disadarinya, buliran kristal bening menetes dari kedua sudut mata si anak itu. Ia benar-benar menyesal telah pergai dari rumah meninggalkan Ibunya.
Maka si anak itu pun kemudian pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, tanpa ia duga sang Ibu menyambutnya dengan mata yang sembab akibat menangis.
“Akhirnya kau pulang juga, Nak.” Sambut sang Ibu dengan senang. “Ibu sangat menghawatirkanmu. Masuklah, Ibu sudah siapkan makanan kesukaanmu di meja makan.”
Si anak langsung memeluk Ibunya dengan erat sambil menangis. “Maafkan aku Ibu, betapa aku sangat berdosa telah menyakiti perasaanmu.”
Sungguh, betapa kasih sayang dan perhatian Ibu tidak pernah bisa terbalas oleh apapun. Pengorbanannya begitu tulus dan tanpa mengharapkan imbalan apapun dari anak-anaknya. Lalu sebagai anak, pernahkah kita berpikir untuk membahagiakan Ibu kita? Mari peluk Ibu sebagai tanda rasa sayang dan cinta kita terhadap beliau.
***